KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wbwr,wb,.
Alhamdulillah berkat pertolongan Allah SWT saya penulis dapat menyajikan makalah yang berjudul “Perlindungan
Hukum terhadap Saksi dan Korban dalam sistem Peradilan Pidana”.
Makalah ini disusun untuk
melengkapi tugas prodi ilmu hukum dalam materi Pengantar Ilmu Hukum di UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, disamping itu juga sebagai pembelajaran bagi saya
penulis untuk mengetahui Perlindungan Hukum terhadap Saksi dan Korban dalam
sistem Peradilan Pidana.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih sangat masih sangat jauh dari sempurna,baik isi,susunan
kalimat,maupun sistematika urna, baik isi,susunan kalimat maupun sistematika pembahasannya.Untuk itu teguran,saran,dan
nasihat para pembaca serta dosen annya. Untuk itu teguran, saran dan nasihat para pembaca serta
dosen pengampu senantiasa
saya harapkan demi kesempurnaan makalah saya ini.Tiada kesempurnaan makalah saya
ini.Tiadakesempurnaan makalah saya ini.Tiadaa saya harapkan demi kesempurnaan
makalah saya ini.Tiada gading yang tak retak,kata
pepatah.Namun upaya mencari gading yang tidak retak setidaknya telah saya usahakan.Akhirnya segala kesalahan dan kekurangan
adalah tanggung jawab saya sebagai penulis,namun apabila terdapat
kebenaran dalam makalah ini semata n,apabila terdapat
kebenaran dalam Makalah inisematakarena hanya
ridho,tuntunan,dan petunjuk dari Allah sang maha pencipta.
Wassalamualaikum
wr.wb
Yogyakarta,Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................................. 1
Daftar Isi....................................................................................................................... 2
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 3
1.2 Maksud dan tujuan.......................................................................................3
1.3 Rumusan Masalah.........................................................................................3
Bab II Pembahasan
A.Saksi yang dilindungi dalam UU Perlindungan Saksi&Korban...................................... 4
B.Perlindungan Saksi&Korban dalam sistem Peradilan Pidana......................................... 6
C.Penerapan Asas Aquality Before The Law dalam UU No.13 Th 2006......................... 10
Bab III Penutup
Kesimpulan.................................................................................................................... 14
Saran..............................................................................................................................14
Daftar Pustaka............................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peranan saksi dalam setiap persidangan perkara pidana sangat
penting karena kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan
kecenderungan keputusan hakim.Seorang saksi dianggap memiliki kemampuan yang
dapat menentukan kemana arah keputusan hakim.Hal ini memberikan efek kepada
setiap keterangan saksi selalu mendapat perhatian yang sangat besar baik oleh
pelaku hukum yang terlibat di dalam persidangan maupun oleh masyarakat
pemerhati hukum.Oleh karena itu saksi sudah sepatutnya diberikan perlindungan
hukum karena dalam mengungkap suatu tindak pidana saksi secara sadar mengambil
resiko dalam mengungkap kebenaran materiil.
1.2 Maksud dan tujuan
·
Mengetahui
Saksi yang dilindungi dalam UU Perlindungan Saksi&Korban
·
Mengetahui
Perlindungan Saksi&Korban dalam sistem peradilan pidana
·
Mengetahui
Penerapan Asas Aquality Before The Law dalam UU No.13 th 2006
1.3 Rumusan Masalah
ü Bagaiman Saksi yang dilindungi dalam UU
Perlindungan Saksi&Korban?
ü Bagaimana Perlindungan Saksi&Korban dalam
sistem peradilan pidana?
ü Bagaiman Penerapan Asas Aquality Before The Law
dalam UU No.13 th 2006?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Saksi yang dilindungi dalam UU Perlindungan Saksi&Korban
Dalam UU No.13 th 2006 tentang
perlindungan saksi&korban dalam ketentuan umumnya pasal 1,saksi adalah
orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan,penyidikan,penuntutan,dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri,ia lihat sendiri,dan/atau ia alami
sendiri.UU perlindungan saksi dan korban ini masih tetap menggunakan konsep
tentang pengertian saksi seperti yang diatur oleh KUHAP.Perbedaan dengan
rumusan KUHAP adalah bahwa status saksi dalam UU ini sudah dimulai di tahap
penyelidikan,sedangkan dalam KUHAP status saksi dimulai dari tahap
penyidikan.Pengertian saksi dalam UU ini memang lebih maju,krena berupaya
mencoba memasukkan atau (memperluas) perlindungan terhadap orang-orang yang
membantu dalam upaya penyelidikan pidana yang berstatus pelapor atau pengadu.
Namun perlindungan terhadap status saksi dalam konteks
penyelidikan inipun masih terbatas dan kurang memadai karena terbentur pada
doktrin yang diintrodusir KUHAP,dimana saksinya haruslah orang yang keterangan
perkara pidana yang ia lihat sendiri,ia dengar sendiri,dan ia alami sendiri[1].Penggunaan doktrin inilah yang kemudian akan membatasi
perlindungan terhadap saksi yang berstatus pelapor atau pengadu.Karena dalam
banyak kasus ada orang yang berstatus pelapor ini kadangkala bukanlah orang
yang mendengar,melihat,atau mengalami sendiri perkara tersebut.Oleh karena itu
pula maka UU perlindungan saksi dan korban ini sulit diterapkan untuk bisa
melindungi orang-orang berstatus whistlebower[2].Selain itu dalam konteks “definisi saksi” yang
terbatas tersebut,UU ini juga (tidak ada ditemukan/diatur) melupakan
orang-orang yang memberikan bantuan kepada aparat penegak hukum untuk
keterangan dan membantu proses pemeriksaan pidana yang berstatus ahli (orang
yang memiliki keahlian khusus).[3]
Perlu ditambahkan,UU ini tidak jelas
mengatur “status saksi” berkaitan dengan saksi dari pihak manakah yang bisa
dilindungi.Apakah saksi yang membantu pihak tersangka atau terdakwa (a charge)
ataukah saksi dari pihak yang membantu aparat penegak hukum (a de charge).Tidak
dicantumkannya secara tegas hal ini nantinya akan menimbulkan masalah dan
membebani lembaga perlindungan saksi dan korban dalam pelaksanaannya.Seharusnya
UU ini menegaskan bahwa saksi yang dilindungi dalam UU ini adalah saksi yang
berstatus aparat penegak hukum.
B.Perlindungan
saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana
Pada saat saksi (korban) akan memberikan
keterangan[4],tentunya harus disertai jaminan bahwa yang
bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum,pada saat,dan setelah memberikan
kesaksian.Jaminan ini penting untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan
yang akan diberikan benar-benar murni bukan hasil rekayasa apalagi hasil dari
tekanan pihak-pihak tertentu.Hal ini sejalan dengan pengertian saksi itu
sendiri,sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP.
Pasal 5 ayat 1 UU No.13 th 2006,mengatur
beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban,yang meliputi:
a.Memperoleh
perlindungan atas keamanan pribadi,keluarga,dan harta bendanya,serta bebas dari
ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,sedang,atau telah
diberikannya.
b.Ikut serta dalam
proses memilih&menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
c.Memberikan
keterangan tanpa tekanan
d.Mendapat
penerjemah
e.Bebas dari
pertanyaan yang menjerat
f.Mendapatkan
informasi mengenai perkembangan kasus
g.Mendapatkan
informasi mengenai putusan pengadilan
h.Mengetahui dalam
hal terpidana dibebaskan
i.Mendapatkan
identitas baru
j.Mendapatkan
tempat kediaman baru
k.Memperoleh
penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
l.Mendapat nasihat
hukum
m.Memperoleh
bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Dalam Pasal 5 ayat (2)[5] disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan
kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai
dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi&Korban (LPSK).
Jelaslah berdasarkan ketentuan Pasal 5
ayat (2) UU No.13 th 2006,tidak setiap saksi atau korban yang memberikan
keterangan (kesaksian) dalam suatu proses peradilan pidana,secara otomatis memperoleh
perlindungan seperti yang dinyatakan dalam UU ini.
Keberadaan ketentuan perundang-undangan
yang mengatur mengenai saksi dan korban tindak pidana,tetapi yang menjadi
persoalan adalah dalam UU No.13 th 2006 yang memberikan tugas dan kewenangan
mengenai perlindungan hak-hak saksi dan korban adalah kepala lembaga
perlindungan saksi dan korban,padahal yang melakukan penyidikan dan pemeriksaan
di depan sidang pengadilan bukan lembaga perlindungan saksi,di mana lembaga
perlindungan saksi ini berada di luar lembaga penegak hukum,seperti kepolisian,kejaksaan,dan
pengadilan.
Sehingga dalam memberikan perlindungan hak-hak dan kepentingan
saksi dan korban akan mengalami kendala dan hambatan.[6]
Selama ini dalam proses peradilan pidana keberadaan saksi dan
korban hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan keterangan,di mana
keterangannya dapat dijadikan alat bukti dalam mengungkap sebuah tindak
pidana,sehingga dalam hal ini yang menjadi dasar bagi aparat penegak hukum yang
menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap dalam mengungkap suatu
tindak pidana dan memiliki hak-hak yang tidak banyak diatur dalam KUHAP,padahal
untuk menjadi seorang saksi dalam sebuah tindak pidana,tentunya keterangan yang
disampaikan tersebut dapat memberatkan atau meringankan seorang terdakwa,yang
tentunya bagi terdakwa apabila keterangan seorang saksi dan korban
tersebut memberatkan
tersangka/terdakwa,maka ada kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban
tersebut sebagai musuh yang telah memberatkannya dalam proses penanganan
perkara,hal ini tentunya dapat mengancam keberadaan saksi dan
korban.Berdasarkan hal tersebut,maka tentunya seorang saksi dan korban perlu
mendapatkan perlakuan dan hak-hak khusus,karena mengingat keterangan yang
disampaikan dapat mengancam keselamatan dirinya sebagai seorang saksi[7].Tanpa adanya pengaturan yang tegas dan jaminan keamanan bagi
seorang saksi,maka seseorang akan merasa takut untuk menjadi seorang saksi.Kedepannya
diharapkan supaya diberikan jaminan keamanan dan keselamatan bagi seorang
saksi,agar masyarakat dapat berperan penting dalam mengungkap sebuah tindak
pidana,seperti menjadi seorang saksi,karena tanpa adanya jaminan keamanan dan
keselamatan yang diberikan kepada seorang saksi,maka masyarakat enggan atau
bahkan tidak mau menjadi seorang saksi,padahal keberadaan seorang saksi dalam
mengungkap suatu tindak pidana sangat penting.
Perlindungan terhadap saksi dan korban dalam proses peradilan
khususnya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat juga diakui dalam dunia
internasional.Hal ini tercermin dalam Mahkamah Internasional ad hoc bekas Yugoslavia (International
Criminal Tribunal For Former Yugoslavia) dan International Criminal Tribunal For Rwanda yang secara eksplisit menyebutkan hal tersebut
pada statute dan aturan teknis prosedur pengadilan.
Belajar dari pengalaman Mahkamah Pidana Internasional ad hoc tersebut,maka perlindungan terhadap saksi dan
korban dimuat dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional yang permanen
atau Rome Statute of International Criminal Court (International Crime
Court) yang
diratifikasi oleh lebih dari 60 negara.
Untuk lebih memberikan pengakuan dan memberikan jaminan yang lebih
baik kepada saksi dan korban atas hak-haknya dalam proses peradilan,maka dalam
Statuta Roma diatur 3 hal penting,yaitu:
1.Victim
participation in the proceedings;
The statue mengakui bahwa korban dapat memberikan
kontribusi dalam proses persidangan dan yang terpenting bahwa saksi bukan
ditempatkan pada posisi yang pasif,akan tetapi bisa aktif terlibat dan
memberikan keterangan sebanyak mungkin yang bisa dijadikan bukti di dalam
persidangan.
2.Protection
of victim and witnesses;
Statuta Roma International
Crime Court ini
mengakui adanya jaminan perlindungan keamanan terhadap saksi amupun korban baik
perlindungan secara fisik dan mental juga perlindungan terhadap martabat dan
privasi para saksi dan korban.Adanya jaminan perlindungan saksi dan korban ini
dimaksudkan juga untuk memberikan kredibilitas dan dasar hukum pada International
Crime Court,sehingga
mendapatkan dukungan yang baik dari semua pihak termasuk saksi dan korban.
Keinginan agar
mendapatkan reparations ini didasari pada rasa penderitaan baik fisik maupun mental yang
diderita oleh korban,sehingga sudah selayaknya mereka mendapatkan reparations guna memperbaiki nasibnya di kemudian hari.
C.Penerapan Asas Aquality Before The Law dalam UU No.13 th 2006
tentang Perlindungan
Saksi&Korban.
Ø Asas Perlindungan
Maksud asas ini mengacu pada kewajiban Negara
untuk melindungi warga negaranya terutama mereka yang dapat terancam
keselamatannya baik fisik maupun mental.
Ø Asas hak atas rasa aman
Dalam hak ini termasuk pula hak untuk tidak
disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi sesuai dengan
konvensi menentang penyiksaan yang telah diratifikasi
Ø Asas hak atas keadilan
Tersangka dan terdakwa telah diberikan
seperangkat hak dalam KUHAP dan seyogyanya seorang saksi harus mendapat pula
keadilan.
Ø Asas hak penghormatan atas harkat dan martabat
manusia
Peran seorang saksi selama ini tidak pernah
mendapat perhatian yang memadai dari penegak hukum,walaupun ia berperan dalam
mengungkapkan suatu tindak pidana.
Seorang saksi dan korban berhak memperoleh
perlindungan atas keamanan pribadinya dari ancaman fisik maupun psikologis dari
orang lain,berkenaan dengan kesaksian yang akan,tengah,atau lebih diberikannya
atas suatu tindak pidana.Disamping itu sejumlah hak diberikan kepada saksi dan
korban,antara lain berupa hak untuk memilih,dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan,hak untuk mendapatkan nasihat hukum,hak untuk memberikan
keterangan tanpa tekanan,hak untuk mendapatkan identitas dan tempat kediaman
baru,serta hak untuk memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan.
Pembahasan mengenai penerapan asas Aquality
Before The Law dalam UU No.13 th 2006 tentang perlindungan saksi dan korban
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan hal yang sangat penting
mengingat asas tersebut merupakan asas fundamental dalam sistem peradilan
pidana,sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
hukum acara pidana harus mewujudkan asas Aquality Before The Law.
Dalam UU No.13 th 2006 tentang
perlindungan saksi dan korban memberikan perlindungan dan bantuan terhadap
saksi maupun korban.Perlindungan yang dimaksud adalah dalam bentuk perbuatan
yang memberikan tempat bernaung atau perlindungan bagi seseorang yang
membutuhkan,sehingga merasa aman terhadap ancaman di sekitarnya.
Selanjutnya di kepolisian,penerapan
perlindungan saksi terhadap merupakan suatu kewajiban bagi pihak kepolisian
dalam kedudukan sebagai aparatur pelindung masyarakat,hal ini diatur dalam
Pasal 13 huruf c UU kepolisian[10].Dalam proses penyidikan karena polisi jadi penyidik,maka
perlindungan tersebut dilakukan hanya sebatas alamat rumah,kemudian memonitor
rumah dan menempatkan petugas untuk berjaga di luar rumah dalam batas
tertentu.Hal inilah yang dianggap kepolisian sebagai bentuk perlindungan.
Di Kejaksaan,perlindungan terhadap saksi
bentuknya sangat sederhana seperti mengantar saksi dari dan
kepengadilan,meminta kepolisian menempatkan anggotanya di rumah
saksi,melindungi saksi dengan cara perlindungan hukum[11].Seperti kompensasi tidak dijadikan tersangka.
Dalam KUHAP telah terdapat beberapa Pasal
yang mengakomodir sedikitnya perlindungan terhadap saksi antara lain:Pasal 108
ayat (1) yang menentukan bahwa “setiap orang mengalami,melihat,dan menyaksikan
dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berkak untuk
mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik baik lisan maupun
tulisan”.Selanjutnya Pasal 117 ayat (1),selain itu dalam proses peradilan
seorang saksi memiliki hak untuk memberikan keterangan kepada penyidik tanpa
tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun,serta pada pembuktian dimuka
siding pengadilan kepada seorang saksi tidak boleh diajukan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menjerat yang terdapat pada pasal 166
KUHAP.
Pemaparan mengenai konsep perlindungan
saksi merupakan suatu hal yang dapat dikatakan baru.Namun apabila membicarakan
mengenai saksi mungkin bukan merupakan kata yang baru lagi dikarenakan setiap
membicarakan perbuatan hukum baik perdata maupun pidana maka dihadapkan pada
situasi yang member kemungkinan kata saksi dipergunakan.Dalam teori tentang
pemakaian alat bukti,maka saksi merupakan salah satu bentuk alat bukti dalam
bentuk pemberian keterangan di dalam proses peradilan.Pemakaian keterangan
saksi sebagai alat bukti merupakan suatu pemberian kedudukan saksi dalam hal
kerangka proses peradilan.Kehadiran seorang saksi sangat berarti dalam
penyelesaian kasus.
Perlindungan lain juga diberikan kepada
saksi atau korban dalam suatu proses peradilan pidana,meliputi:
a.memberikan
kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut
diperiksa,tentunya setelah ada izin dari hakim (Pasal 9 ayat 1);[12]
b.saksi,korban,dan
pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas
laporan,kesaksian yang akan,sedang,atau telah diberikannya.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Peranan saksi dalam setiap persidangan perkara pidana sangat
penting karena kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan
kecenderungan keputusan hakim. Oleh karena itu saksi sudah sepatutnya diberikan
perlindungan hukum karena dalam mengungkap suatu tindak pidana saksi secara
sadar mengambil resiko dalam mengungkap kebenaran materiil.
Seorang saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas
keamanan pribadinya dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain,berkenaan
dengan kesaksian yang akan,tengah,atau lebih diberikannya atas suatu tindak
pidana.
Saran
Penulis sadar bahwa isi
dari makalah ini belum sempurna seperti apa yang diharapkan, maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing atas
ketidaksempurnaan penulisan makalah ini agar kedepannya bisa lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
v Supriyadi Widodo Eddyono.2006.“Saksi sosok yang Terlupakan Dalam Sistem
Peradilan Pidana“.Koalisi perlindungan Saksi dan Elsam.
v Prof.DR.Muhadar,SH,M.Si.,Edi Abdullah,SH,M.H.,dan
Husni Thamrin,SH,M.M,M.H.2009.“Perlindungan
Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana“.Surabaya.ITS
Press
v DR.H.Soeharto,SH.,M.H.,2007.“Perlindungan Hak Tersangka,Terdakwa,dan
Korban Tindak Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia“.Bandung.PT.Refika
Aditama
v Drs.Dikdik M.Arief Mansur,SH.,M.H.dan
Elisatris Gultom SH.,M.H.2008.“Urgensi
Perlindungan Korban Kejahatan“.Jakarta.PT.Raja Grafindo Persada
v Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana
[1] KUHAP,BAB 1 Ketentuan umum,pasal 1 butir 26
[2] Supriyadi
widodo eddyono ‘saksi,sosok yang terlupakan dari sistem peradilan
pidana,koalisis perlindungan saksi dan Elsam.2006,hal 9
Whistleblower adalah
orang-orang yang mengungkap fakta secara terjemahan bahasa Indonesia “peniup
peluit” yang memberikan peringatan kepada publik mengenai suatu
skandal,bahaya,alpraktik mal administrasi maupun korupsi.Di Indonesia
sebetulnya banyak orang-orang yang bisa dikatakan sebagai whistle blower.
[3] KUHAP,BAB 1
Ketentuan umum,Pasal 1 butir 28
Keterangan ahli adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang
hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan.
Keterangan saksi adalah
salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,ia lihat sendiri,dan ia
alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
[5] Pasal 5 ayat
(2) UU No.13 th 2006,menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “ Kasus-kasus
tertentu”,antara lain,tindak pidana korupsi,tindak pidana
narkotika/psikotropika,tindak pidana terorisme,dan tindak pidana lain yang
mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat
membahayakan jiwanya.
[6] Prof.DR.Muhadar,SH,M.Si,,Edi
Abdullah,SH,M.H dan Husni Thamrin SH,M.M,M.H.,”Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam Sistem Peradilan Pidana”,hal.180
[7]
Prof.DR.Muhadar,SH,M.Si,,Edi
Abdullah,SH,M.H dan Husni Thamrin SH,M.M,M.H.,”Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam Sistem Peradilan Pidana”,hal.182
[9] UU No.13 th
2006,Pasal 3
[10] Pasal 13 huruf
c UU kepolisian menyatakan bahwa tugas pokok kepolisian adalah memberikan
perlindungan,pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakat.
[11] Prof.DR.Muhadar,SH,M.Si,,Edi
Abdullah,SH,M.H.,dan Husni Thamrin,SH,M.M,M.H.,
Hasil wawancara dengan
Jaksa Raimel Jesaja di Kantor Kejaksaan Negeri Makassar pada Hari Selasa 22
April 2008.Pukul 13.00 Wita.
[12] Kesaksian
tanpa kehadiran seorang saksi atau korban secara fisik di pengadilan dapat
diberikan baik secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabatyang
berwenang dengan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat
tentang kesaksiannya maupun secara langsung melalui sarana elektronik dengan
didampingi oleh pejabat yang berwenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar